Revisi KUHP di Indonesia
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan kodifikasi hukum pidana yang berlaku di Indonesia. KUHP yang saat ini digunakan adalah warisan kolonial Belanda yang diberlakukan sejak tahun 1918.
Sudah lebih dari 1 abad KUHP ini berlaku, sehingga banyak pasal-pasalnya yang dianggap ketinggalan zaman dan tak sesuai dengan nilai-nilai keadilan serta perkembangan masyarakat Indonesia saat ini. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR RI berupaya untuk merevisi KUHP agar lebih relevan dengan jiwa bangsa Indonesia.
Proses revisi KUHP ini sudah berjalan lama sejak era reformasi digulirkan. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mulai dibahas sejak tahun 1999. Namun pembahasannya terus mengalami pasang surut hingga saat ini RKUHP belum rampung disahkan menjadi UU.
Ada sejumlah pasal kontroversial dalam RKUHP yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan, antara lain:
Pasal penodaan agama
Pasal penodaan agama dalam KUHP saat ini kerap disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi. Pasal ini rencananya akan dihapus dalam RKUHP. Namun, banyak kelompok Islam yang menolak penghapusan pasal ini dengan alasan akan merusak kerukunan antar umat beragama.
Zina
RKUHP berencana mengkriminalisasikan perzinahan yang dilakukan dengan persetujuan para pihak. Ini menuai kritik karena dianggap terlalu mencampuri urusan privasi warga negara.
Hukuman mati
RKUHP masih mempertahankan hukuman mati, meskipun ada usulan untuk menghapuskannya. Pemerintah berpendapat hukuman mati masih diperlukan sebagai efek jera, terutama untuk kasus narkoba dan korupsi.
Penyalahgunaan kekuasaan
RKUHP memasukkan pasal penyalahgunaan kekuasaan yang dapat dikenakan bagi pejabat publik. Ini dimaksudkan untuk memperkuat pemberantasan korupsi.
Kriminalisasi penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Ini menuai kritik karena bertentangan dengan kebebasan berekspresi.
RKUHP juga direncanakan mengatur beberapa hal baru seperti perlindungan data pribadi, kejahatan siber, dll. Masuknya pasal-pasal baru ini untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi dan kejahatan siber.
Sebagai seorang pakar hukum, saya melihat upaya revisi KUHP di Indonesia sudah sangat tepat dan urgent mengingat undang-undang yang ada saat ini tidak lagi komprehensif. Namun demikian, proses revisi semestinya dilakukan secara cermat dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat.
Jangan sampai revisi KUHP justru malah melanggengkan penindasan dan pelanggaran HAM. Pengacara jogja perlu memperhatikan masalah ini dengan baik untuk menyusun pembelaan hukum.
Beberapa catatan perlu diperhatikan dalam revisi KUHP
- Tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 dan prinsip-prinsip HAM.
- Perlu dukungan politik yang kuat dari DPR dan pemerintah.
- Libatkan berbagai stakeholder terkait untuk mendapatkan masukan.
- Lakukan sosialisasi yang masif ke masyarakat.
- Pertimbangkan dampak sosial dan politik dari setiap pasal.
- Fokus pada pembaruan sistem hukum pidana, bukan memidanakan hal-hal baru.
Dengan berpegang pada prinsip di atas, saya yakin revisi KUHP dapat dilakukan dengan baik tanpa harus melanggar HAM atau meresahkan sebagian masyarakat. Tentu saja tidak mudah merumuskan KUHP baru yang dapat diterima semua pihak.
Namun demi mewujudkan sistem hukum pidana yang lebih berkeadilan di Indonesia, kita perlu terus mendorong proses revisi ini hingga rampung. Semoga upaya mulia ini segera membuahkan hasil yang terbaik untuk bangsa dan negara Indonesia tercinta.